i2n

Minggu, 27 Februari 2011

Pungguk

Aku terjaga selalu diheningnya malam
Terpaku oleh kesunyian dan kerinduan
Dan ini adalah malam yang kesekian
Dari malam-malam yang ku lalui

Akulah si pungguk
Terbang menerobos pekat malam
Mencari ranting yang kokoh
Menghabiskan malamku bertengger disana
Bersenandung
Menyanyikan lagu-lagu rindu

Lagu ini begitu sederhana
Tapi aku sangat ingin melantunkanya
Sebagai pengobat keresahah hati
Pembendung rindu yang begitu membuncah

Dengan sabar aku menunggu
Pada kasetiaan malam yang ku lalui
Bersama lagu yang aku nyanyikan
Dengan ranting yang retak dan hampir patah
Menunggumu, wahai rambulan malam

Dan pada malam yang berbeda
Saat dimana purnama menjelang
Kaupun hadir berselimut kabut hitam
Memberikan noda pada kesetiaan
Memberikan kehancuran pada kuatnya kepercayaan
Hingga aku mengeluh pada kebodahan

Kadang semilir angin mencoba berbisik
Ia berkata “Untuk apa kau menunggu rembulan? Ia tak akan datang untukmu. Coba lihatlah esok hari, ada mentari yang akan datang. Ia membawa kehangatan. Sambutlah ia dengan hatimu yang dingin dan hampir beku ini.”
Tapi aku mengacuhkannya
Karena aku adalah seekor pungguk
Yang ditakdirkan hanya untuk merindukan sang rembulan




Sunday, February 27, 2011 02:40am

Kamis, 10 Februari 2011

Karena Dendam Pada Serigala


Di sebuah desa di kaki Gunung Slamet, hiduplah seorang petani yang sedarhana dengan cucunya. Setiap hari, seusai melaksanakan shalat subuh di surau, sang cucu memberi makan ayam-ayam itu. Terkadang, diantara ayamnya itu, ada yang bertelur. Telur itu disimpanya untuk dijual di pasar.
Pagi itu, seperti biasa, sang cucu pergi ke kandang ayam untuk memberi makan ayam-ayamnya. Namun, dia terkejut melihat kandang itu porak poranda. Tetesan darah tercecer di mana-mana.
Wah, pasti ada binatang buas yang memangsa mereka!” gumamnya.
Lalu, dia menghitung jumlah ayamnya. Tenyata, ayamnya hilang tiga ekor. Dia melaporkan kejadian itu kepada kakeknya. Sang kakek terkejut dan segera melihat-lihat keadaan kandang. Setelah itu, sang kakek mengajak cucunya untuk meneliti kebun di sekitar kandang.
Pada sebuah tanah yang basah, sang kakek menemukan jejak-jejak kaki binatang di sana. Dia langsung menelitinya.
“Ini jejak kaki serigala, Cucuku. Kita harus segera memperbaiki kandang dan lebih berhati-hati!” kata sang kakek.
Sang kakek lalu mengajaknya memotong bambu, untuk memperbaiki kandang. Sang cucu membantunya dengan penuh keikhlasan. Saat melihat kembali darah yang berceceran didalam kandang, dia menangis.
“Mengapa menangis Cucuku?” tanya sang kakek.
“Saya membayangkan betapa ketakutanya ayam-ayam itu tadi malam, Kek. Betapa sakitnya tiga ayam itu dibantai serigala. Mengapa ada binatang sejahat serigala, Kek?” tanya sang cucu sambil terisak-isak.
“Adanya serigala yang rakus dan kejam, itu menjadi ujian dari Tuhan untuk kita. Kita jangan mau diperdayai serigala dan harus menindak serigala itu,” jawab sang kakek.
“Kalau begitu, besok malam saya akan berjaga, saya akan membawa parang dan panah. Jika serigala itu mendekati kandang, akan saya bidik, Kek!”
Sang kakek tersenyum sambil mengelus-elus kepala cucunya.
Setelah selesai memperbaiki kandang, sang kakek berkata, “Cucu, kakek akan ke sawah, melihat padi kita yang sudah menguning. Mingu ini sudah bisa dipanen. Kau sebaiknya pergi ke pasar. Jual lima butir telur dan daun singkong itu. Tukarlah dengan bumbu dan lauk-pauk yang kau inginkan.”
“Baiklah, Kek!”
***
Menjelang maghrib, sang cucu sudah berada di surau. Tepat saat sang surya tenggelam diperaduanya, dia melantunkan azan. Suaranya merdu. Kumandang azan itu menggema sampai di puncak Gunung Arjuna. Alam ikut dalam takbir dan tasbih kepada Allah Azza wa Jalla.
Tidak lama, shalat maghrib berjamah pun ditegakkan. Lalu, surau berdinding papan itu riuh rendah oleh suara anak-anak yang sedang mengeja dan membaca al-Quran. Pak Kiai Wasiun yang membimbing mereka.
Menjelang isya, surau itu tenang. Anak-anak memerhatikan cerita Pak Kiai, tentang kemuliaan akhlak Baginda Nabi Muhammad saw.
Pak Kiai memulai ceritanya, ” Baginda Nabi sangat halus hatinya, sangat pengasih, dan penyayang. Bahkan, terhadap binatang pun, beliau sangat saying. Suatu ketika, dalam perjalanan perang bersama para sahabatnya, Baginda Nabi beristirahat. Diantara sahabat yang turut bersama beliau, ada yang menemukan sarang burung. Di dalam sarang itu ada dua ekor anak burung yang indah. Sementara induknya tidak ada di dalam sarang, seorang sahabat mengambil dua anak burung itu.
Tidak lama kemudian, induk burung itu datang. Melihat kedua anaknya tidak ada, ia sedih dan bercuap-cuap dengan sangat keras. Suara induk burung itu didengar oleh Baginda Nabi. Begitu melihatnya, beliau berkata kepada para sahabatnya, ‘Siapa yang mengambil anak burung ini? Ayo kembalikan! Jangan sisksa burung ini!’
Lalu, sahabat itu pun mengembalikan kedua anak burung itu.
Jadi begitulah, anak-anakku, Baginda Nabi sangat penuh kasih dan rahmat kepada siapa saja!” kata Pak Kiai.
“Kalau begitu, kita tidak boleh membunuh binatang, Pak Kiai? Tetapi, kok kita makan daging kambing pada hari raya? Apa nggak kasihan pada kambing itu?” tanya Aminah polos.
“Kita boleh membunuh binatang yang berbahaya, misalnya dan kalajengking. Cara membunuhnya pun harus baik, jangan dibakar. Pada dasarnya, seluruh alam ini diciptakan untuk keperluan hidup manusia. Maka, manusia harus mensyukuri dan menggunakan nikmat itu dengan baik. Baginda Nabi mengajarkan, kalau menyembelih kambing, atau binatang lain yang dibolehkan agama untuk dimakan, haarus menggunakan pisau yang sangat tajam, agar kambing itu tidak merasakan kesakitan. Jangan pula kita menyembelih kambing di depan kambing yang lain. Jadi, dalam menyembelih pun kita harus melakukanya dengan baik dan penuh belas kasih.”
Setelah itu, azan isya berkumandang. Anak-anak bersiap untuk melakukan shalat. Seteleh shalat isya, mereka pulang ke rumah masing-masing
***
Hari sudah larut malam, sang kakek telah tertidur karena kelelahan bekerja di sawah. Sementara itu, si cucu tetap berjaga di dapur. Dia membuka jendela dapur, lalu duduk di atas dipan sambil memasang anak panah pada busurnya. Pandanganya lurus ke arah pintu kandang ayam. Dia menunggu-nunggu serigala itu. Akan tetapi, yang ditunggu tidak juga muncul. Lama kelamaan, dia tetidur di dapur.
“Katnya jaga, kok tidur?” tanya kakek.
“Aku tertidur Kek, ngantuk sekali sih
“Ya sudahlah, tidak apa-apa. Ayo, cepat pergi ke masjid”
“Baik, Kek!”
Seperti biasa, setelah shalat subuh, dia pergi ke kandang. Dia terkejut karena kandang itu telah rusak kembali. Darah berceceran di sana-sini. Dia menghitung ayamnya, lagi-lagi hilang tiga. Dia sangat sedih dan menyesal, mengapa tadi malam dia tertidur? Lalu, dia melaporkan hal itu kepada kakeknya.
“Tak apa, Cucuku, kau sudah berbuat semampumu. Serigala ini sudah tidak bisa dimaafkan lagi. Aku akan membuat perangkap untuk menangkapnya!”
Benat, ternyata sang kakek membuat perangkap. Sementara cucunya tetidur, sang kakek tetap bejaga dan tidak memejamkan mata walau sekejap. Hatinya diliputi rasa dendam pada serigala yang memangsa ayam-ayamnya.
Tengah malam, serigala itu datang. Begitu masuk ke dalam perangkapnyadia langsung berteriak, “Huh, sekarang kau tertangkap Maling Busuk!”
Pagi harinya dia memberitahukan kepada cucunya bahwa serigala itu telah tetangkap. Sang cucu gembira mendengarnya. Dia ingin memberi hukuman setimpal pada serigala itu. Dia berpikir, hukuman apa yang tepat untuk serigala itu?
Lalu, dia bertanya kepada kakeknya, “Kek, hukuman apa yang pantas untuknya? Hukuman yang cukup membuatnya jera, tetapi tidak menyakitinya?”
“Serigala yaa… tetap serigala, Cucuku. Kalau hanya dipukul, dia tidak akan jera. Tenanglah, nanti kau akan melihat, hukuman apa yang pantas untuknya dan membuatnya tidak akan kembali ke sini!” jawab kakek itu.
Menjelang siang, sang kakek mengikat semua kaki serigala itu.
“Mau diapakan, Kek?” tanya sang cucu.
“kau diamlah dan tenang. Lihat saja. Biar tahu rasa serigala kurang ajar ini!” jawab sang kakek.
Dia ingin membalas dendam atas kekurang-ajaran serigala ini yang telah memangsa enam ekor ayamnya.
Kakek itu lalu mengambil secarik kain. Kain itu dipilinya kuat-kuat. Lalu, dia ikatkan pada ekor serigala itu. Sang cucu melihatnya dengan keheranan. Setelah kain itu terikat kuat pada ekor serigala, sang kakek mengambil gas dan menyiramkan pada kain itu.
Sang cucu berteriak, “Ja… jangan, Kek!”
Akan tetapi, terlambat. Api telah menyala di ekor serigala itu. Spontan serigala itu melolong kepanasan.
“Rasakan penjahat!” kata kakek itu geram sambil melepas semua ikan kakinya.
Serigala itu lari terbirit-birit dengan ekor terbakar. Ia terus berlari dan tidak tahu cara memadamkan api yang telah membakar ekornya. Serigala itu berlari kesawah dan mencari lumpur atau air. Ternyata, sawah telah kering. Padi telah menguning. Tak ada air di sana. Serigala dengan ekor terbakar itu berlari ke sana ke mari di sawah.
Tidak lama kemudian, terlihat asap membumbung dari sawah.
“Ada kebakaran di sawah!” teriak seorang penduduk kampung.
Orang-orang berlarian ke arah datangnya asap. Di sana, sepetak sawah yang siap panen, telah terbakar. Api merambat dengan cepatnya. Kakek dan cucunya pun berlari ke arah asap itu. Alangkah terkejutnya mereka ketika melihat sawahnya yang siap panen seminggu lagi, kini telah tebakar. Kakek itu menyesal. Dendam yang membara dalam hatinya, telah membakar segalanya.


Dikutip dari buku Ketika Cinta Berbuah Surga – Habiburrahman El Shirazy
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...